Laki-laki
itu berumur sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya hitam dan berbaju dekil apa adanya. Duduk mencangkung di bangku
sebuah warung kopi di lorong antara ruko-ruko, mulutnya kembang kempis
menghisap dan mengeluarkan asap. Pandangan matanya lurus ke depan kosong. Dua
tiga batang rokok telah habis, dia menyulut batang yang ke empat. Kopi yang di
pesan nya tiga puluh menit yang lalu belum juga di sentuh nya.
Malam itu sulit sekali bagi pak Hasan. Dia duduk berlama-lama di warung kopi langganan nya. Biasanya dia langsung menyeruput kopi hangat namun sekarang berbeda perangainya. Tampak berat pikirannya malam itu. Lebih berat dari gerobak berisi sampah yang di kumpulkan nya di tempat pembuangan.
Tak
lama teman sejawat, seprofesi dan sesama maniak nongkrong di warung kopi menghampiri
nya seperti malam-malam sebelum nya.
“Ada
apa bang?”
“Tidak”
ujar nya singkat tanpa menoleh ke lawan
bicara nya
Melihat
perangai kawan nya yang tak seperti biasanya, tak nyaman benar perasaan nya.
Seperti melakukan kesalahan,
“ Ada masalah bang di rumah”? tanya nya lagi memancing
Hasan yang masih dengan gaya dan posisi
yang sama.
“Kau
ada mimpi semalam man?”
“Mimpi?
Tak ada, emang kenapa bang?” jawab nya
“Aku
dengar-dengar nomor si Udin tembus, tadi pagi ku lihat dia pakai sepeda motor baru”
“Oh...
begitu rupanya, bagaimana kalau kita pasang juga bang, aku tahu tempatnya bang tapi mimpi abang nih mau di tafsir kan dulu
biar akurat. Aku ada buku tafsir mimpi bang punya tetangga” ujar Salman
menawarkan
“Boleh
lah kau pinjam dulu man, manatahu kita beruntung”
Setelah
perbincangan itu mereka berdua bersepakat bertemu kembali di tempat yang sama. Selesai
mengumpulkan sampah, Hasan menarik gerobak nya dengan langkah yang ringan
seperti kosong gerobak nya walau tak demikian. Sesampainya di warung kopi menunggulah
ia dengan penuh harap. Tak lupa dengan kopi hangat dan sebungkus rokok kretek
yang dibeli nya di warung tadi pinggir jalan. Tak lama kemudian datanglah si Salman
dengan menjinjing kantong kresek hitam.
“Nah,
bukunya bang” ujarnya sambil tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk buku itu kemudian
lekas memberikannya ke Hasan.
Hasan
dengan tergesa-gesa menerima kantong itu seperti sedang mendapat setumpuk uang,
di bukanya buku tafsir helai demi helai, tangan kirinya memegang dagu sementara
tangan kanannya membuka lembaran buku kemudian ia mengangguk-angguk seperti
mendapat sebuah pemahaman baru.
“Gimana
bang?” Tanya Saman
“Mantap
ni man, pinjam dulu boleh?” Tanya nya
“Boleh,
boleh” ujar saman sambil menggangguk
angguk dan sedikit mengayun
Setelah
mendapat buku itu, ringanlah perasaan Hasan. Pulanglah ia dengan wajah penuh
kegembiraan. Sepanjang perjalanam pulang sambil menarik gerobak, sebentar-sebentar ia
menoleh ke belakang, memeriksa apakah buku itu masih di sana. Tak sabar rasanya
pulang kerumah mandi kemudian tidur dan bermimpi.
Sesampainya
di rumah ia langsung menuju kolam hendak mandi dan berencana terus tidur. Melihat perangai suaminya, istri Hasan heran biasanya
sehabis mandi Hasan menonton tv sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya. Namun
berbeda Hasan malam ini, kopi masih tergeletak utuh tak cacat barang sedikit
pun, sedangkan ia sudah terbaring di kamar.
Keesokan
hari nya, Hasan bergegas bangun. Bukan nya cuci muka ia malah sibuk berkutat
dengan buku tafsir, mencatat dan tahu-tahu sudah berpakaian rapi.
Hasan langsung mengengkol sepedanya dengan
kecepatan tinggi sebelum bandar togel itu tutup tanpa kehadirannya, tempat
persemayaman bandar itupun sudah di dapatnya dari Saman. Saman juga hendak
kesana memasang peruntungan hari itu. Sesampai nya di pasar, di tuntun nya
sepeda di lorong-lorong pasar yang gelap. Di amati nya sekeliling takut-takut
ada polisi yang mengikutinya. Terngiang-ngiang di telinga nya ucapan Saman
untuk berhati-hati terhadap orang-orang yang mencurigakan dan hendak nya
bersikap santai sehingga orang tak curiga.
Di
kegelapan lorong, dilihatnya Saman berdiri menyandar di pintu kios yang tutup
sambil merokok. Hasan menarik lonceng sepedanya sebagai kode seperti yang telah
di sepakati bahwa yang datang benar adanya ia, bukan seorang polisi yang
menyamar. Mendengar kode itu, di tolehnya Hasan dengan sepedanya yang semakin mendekat.
Ia pun menjentik sisa puntung yang di hisapnya sehingga terlemparlah puntung
itu ke tanah, di injak-injak nya hingga tak berbentuk. Hilanglah berkah bagi
anak-anak pasar yang baru belajar merokok yang acapkali terlihat
menyorok-nyorok di lorong hendak mencari sisa puntung yang layak untuk di hisap
bersama teman-teman berandalannya. Salman kemudian menunggingkan senyum seraya menghampiri hasan dan segera menuntun sepeda Hasan menuju
kios tertutup dan rahasia. Tertutup hanya untuk kalangan penikmat judi dan rahasia
umum orang-orang pasar.
Di
pintu kios itu telah ada dua tiga orang yang sedang sibuk menulis-nulis angka
sambil menerawang ke langit-langit kios kemudian mengangguk-angguk takzim. Dua
tiga orang lainnya tak ada bedanya.
Kemudian
salman mengambil pulpen dan selembar kertas karton berkas kardus di pasar, melihat
langit-langit, mengangguk-angguk dan menulis. Hasan pun begitu perangai nya
meniru rupa yang lain, menatap ke langit seperti mendapat ilham.
“Wah,
banyak sekali bang? tanya Salman dengan takjubnya melihat deratan nomor Hasan
“Banyak
sekali kayaknya mimpi abang nih” tambahnya lagi
Salman
hanya tersenyum-tersenyum yakin. Entahlah apa yang di yakini nya. Tak
konsentrasi rupanya Salman hari itu, sepanjang hari tak tenang perasaannya. Hilang
datang keyakinan nya. Keesokan hari nya di warung kopi, berdebar-debar
jantungnya menunggu Salman dan berita yang di tunggu nya dari semalam.
Tembuskah? Tidak kah?
Salman
dengan wajah biasa-biasa saja datang langsung duduk sambil menyerahkan nomor
beruntung yang semalam telah di siarkan di antara sesamanya. Lekas-lekas Hasan
mengeluarkan bon-bon kecil yang berisi deretan nomor-nomor. Di cocokkannya satu
persatu dengan cermat. Kemudian ia cocokkan lagi, sudah tiga kali ia lakukan
namun tak ada jua yang sesuai. Muram lah, Salman paham benar dengan air muka
Hasan yang tak begitu nyaman di lihat, ia terdiam.
“
Padahal banyak mimpi yang aku dapat dari anak-anak ku, anak pasar, tukang becak
di pasar sampai tukang parkir pasar, tak satupun tembus” ujar Hasan ke Salman
“
Gimana kalau hari ini kita coba lagi bang, mumpung masih pagi, buku pun nanti
siang di kembalikan” Hasan mencoba menyemangati
Cerahlah
kembali wajah Hasan, kemudian ia mulai mengingat mimpi-mimpi nya semalam, ia
juga memaksa ibu warung kopi mengingat mimpi semalam, termasuk Salman dan
anak-anak pasar yang lewat. Tak lama kemudian lewatlah orang buta di depan
warung dan singgah duduk hendak beristirahat rupanya ia di warung kopi.
Terbitlah akal Hasan yang hendak menanyakn mimpi orang buta, mana tahu tembus. Di tegurnya
dangan sopan santun pak tua itu dan di tawari duduk minum kopi dan sedikit
berbasa basi.
“Kek,
adakah kakek bermimpi semalam?’’ tanya Hasan kepada kakek
“
Maksud anak, bagaimana?”
“Begini
kek, adakah penglihatan kakek semalam di dalam mimpi”
“
Kakek ini tak bisa melihat, apa yang bisa dilihat di dalam mimpi ?”
Mendengar
itu, menggangguk-angguk Hasan dan Salman. Ada benar nya juga ucapan kakek itu
menurut akal nya.
“
Aku punya satu mimpi nak” ujar kakek itu
Sambil
tergagap gapap mencari-cari gelas kopi di atas meja, di teguk nya dengan
sedikit gemetar dan berkata,
“
Mimpi aku cuma satu. aku bermimpi bisa melihat seperti kalian-kalian ini agar
bisa bekerja dengan cara halal tanpa bergantung sama orang lain kayak aku ini.
Karena sesungguhnya Allah akan memberikan jalan bagi yang berusaha.
Mendengar
perkataan itu insyaflah Hasan dan Salman dan ibu pejual kopi. Hasan
termenung-menung hingga matahari tinggi dimana waktunya kios rahasia itu tutup.
Oleh
Kisna
0 komentar:
Posting Komentar